1. Universal
Islam adalah agama universal, meliputi universalitas sasaran dan universalitas ajaran atau konsep.A. Universalitas Sasaran
Islam berlaku bagi seluruh manusia di semua tempat dan segala zaman.
Berbeda dengan para Nabi dan Rasul sebelumnya yang diutus membawa ajaran Allah SWT untuk kaum/bangsa dan masa tertentu --misalnya Nabi Shaleh untuk Kaum Tsamud (Q.S. 27:45) dan Nabi Isa untuk Bani Israil (Q.S. 61:6)-- Nabi Muhammad Saw diutus bukan untuk kaum tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia dan berlaku sepanjang masa.
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
"Katakankah (Muhammad): Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kalian semua..." (Q.S. Al-A’raf [7]:158)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”. (Q.S. Al-Anbiya [21]:107)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi Rasul bagi seluruh manusia, membawa kabar gembira dan memberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Saba’ [34]:28)
B. Universalitas Ajaran.
Karena diperuntukkan bagi semua umat manusia di semua tempat dan di segala zaman (universalitas sasaran), maka ajaran Islam meliputi semua aspek kehidupan umat manusia dan mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan semua zaman.
Dengan kata lain, ajaran Islam sifatnya menyeluruh (syumuliyah) untuk kesejahteraan hidup seluruh umat manusia. Umat Islam wajib mematuhi seluruh ajaran Islam tersebut, sebagai konsekuensi keimanan dan keislamannya.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
"Kami turunkan kepadamu Kitab (al-Quran) sebagai penjelas bagi segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. " (Q.S. An-Nahl:89).
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini Kusempurnakan untukmu agamamu dan Kucukupkan nikmat-Ku bagimu" (Q.S. Al-Maidah:3).
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tidak kami lupakan suatu apa pun dalam kitab (al-Quran) itu." (Q.S. Al-An’am [6]:38)
Contoh keuniversalan Islam antara lain tercermin dari ilmu-ilmu yang dikembangkan para ulama Islam pada Zaman Klasik (abad VIII-XIII M).
Mereka tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu seperti tafsir, hadits, fiqih, tauhid, dan tasawuf, tetapi juga mengembangkan ilmu-ilmu keduniaan seperti ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, dan sebagainya.
Islam bukanlah agama dalam pengertian Barat atau dalam pandangan kaum sekuler , yakni hanya mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan.
Islam adalah ajaran agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia.
Islam tidak hanya mengatur bagaimana manusia berhubungan atau beribadah secara vertikal dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga berisikan ajaran tentang hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minan nas), dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablum minal ‘alam).
Tidak heran, jika seorang orientalis kondang, H.A.R Gibb, mengatakan, "Islam is indeed much more than a system of teology, it is a complete civilization" (Islam benar-benar lebih dari sekadar sebuah sistem ketuhanan, ia adalah sebuah peradaban yang lengkap).
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
"Katakankah (Muhammad): Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kalian semua..." (Q.S. Al-A’raf [7]:158)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”. (Q.S. Al-Anbiya [21]:107)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi Rasul bagi seluruh manusia, membawa kabar gembira dan memberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Saba’ [34]:28)
B. Universalitas Ajaran.
Karena diperuntukkan bagi semua umat manusia di semua tempat dan di segala zaman (universalitas sasaran), maka ajaran Islam meliputi semua aspek kehidupan umat manusia dan mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan semua zaman.
Dengan kata lain, ajaran Islam sifatnya menyeluruh (syumuliyah) untuk kesejahteraan hidup seluruh umat manusia. Umat Islam wajib mematuhi seluruh ajaran Islam tersebut, sebagai konsekuensi keimanan dan keislamannya.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
"Kami turunkan kepadamu Kitab (al-Quran) sebagai penjelas bagi segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. " (Q.S. An-Nahl:89).
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini Kusempurnakan untukmu agamamu dan Kucukupkan nikmat-Ku bagimu" (Q.S. Al-Maidah:3).
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tidak kami lupakan suatu apa pun dalam kitab (al-Quran) itu." (Q.S. Al-An’am [6]:38)
Contoh keuniversalan Islam antara lain tercermin dari ilmu-ilmu yang dikembangkan para ulama Islam pada Zaman Klasik (abad VIII-XIII M).
Mereka tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu seperti tafsir, hadits, fiqih, tauhid, dan tasawuf, tetapi juga mengembangkan ilmu-ilmu keduniaan seperti ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, dan sebagainya.
Islam bukanlah agama dalam pengertian Barat atau dalam pandangan kaum sekuler , yakni hanya mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan.
Islam adalah ajaran agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia.
Islam tidak hanya mengatur bagaimana manusia berhubungan atau beribadah secara vertikal dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga berisikan ajaran tentang hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minan nas), dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablum minal ‘alam).
Tidak heran, jika seorang orientalis kondang, H.A.R Gibb, mengatakan, "Islam is indeed much more than a system of teology, it is a complete civilization" (Islam benar-benar lebih dari sekadar sebuah sistem ketuhanan, ia adalah sebuah peradaban yang lengkap).
Hal senada dikemukakan seorang pengamat Barat, G.H. Jansen. Menurutnya, Islam bukanlah sekadar agama, tetapi suatu cara hidup total mencakup agamawi dan duniawi. Islam itu suatu sistem keyakinan dan sistem peribadatan. Ia adalah suatu sistem hukum yang luas dan menyeluruh.
Namun demikian, bukan berarti Islam mengajarkan secara rinci dan detail yang bersifat teknis-operasional seluruh hal. Ajaran demikian hanyalah yang menyangkut masalah ibadah ritual seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
Mengenai masalah non ritual, yakni masalah keduniaan, Islam mengajarkannya secara umum saja. Islam hanya mengajarkan etika dasar, norma-norma, nilai-nila, dan prinsip-prinsip umumnya.
Jadi, Islam tidak menjelaskan tentang sistem perekonomian, politik (kenegaraan), sosial, keuangan, perindustrian, teknologi, militer, dan sebagainya secara terperinci yang harus dilaksanakan umatnya. Yang dijelaskan adalah ketentuan-ketentuan dasarnya saja.
Umat Islamlah yang harus menjabarkannya sendiri, melalui ijtihad , sesuai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Dengan perkataan lain, manusia sendiri yang harus menentukan teknis pelaksanaan dari prinsip-prinsip dasar yang ditentukan Islam.
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu” (H.R. Muslim).
Karena itulah, kreativitas dan kebebasan berpikir sangat dihargai oleh Islam. Islam menyuruh umatnya memaksimalkan potensi berpikir manusia (akal) untuk memahami dan menjabarkan ajaran-ajaran Allah SWT yang tercantum dalam Al-Quran (Q.S. Az-Zumar:17-18, Al-Baqarah:170).
Karena sifatnya yang universal, yang dengan demikian ajarannya mencakup seluruh bidang kehidupan manusia, Islam sama sekali menolak paham sekularisme.
Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan politik seperti direkomendasikan kaum sekularis.
Namun demikian, bukan berarti Islam mengajarkan secara rinci dan detail yang bersifat teknis-operasional seluruh hal. Ajaran demikian hanyalah yang menyangkut masalah ibadah ritual seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
Mengenai masalah non ritual, yakni masalah keduniaan, Islam mengajarkannya secara umum saja. Islam hanya mengajarkan etika dasar, norma-norma, nilai-nila, dan prinsip-prinsip umumnya.
Jadi, Islam tidak menjelaskan tentang sistem perekonomian, politik (kenegaraan), sosial, keuangan, perindustrian, teknologi, militer, dan sebagainya secara terperinci yang harus dilaksanakan umatnya. Yang dijelaskan adalah ketentuan-ketentuan dasarnya saja.
Umat Islamlah yang harus menjabarkannya sendiri, melalui ijtihad , sesuai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Dengan perkataan lain, manusia sendiri yang harus menentukan teknis pelaksanaan dari prinsip-prinsip dasar yang ditentukan Islam.
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu” (H.R. Muslim).
Karena itulah, kreativitas dan kebebasan berpikir sangat dihargai oleh Islam. Islam menyuruh umatnya memaksimalkan potensi berpikir manusia (akal) untuk memahami dan menjabarkan ajaran-ajaran Allah SWT yang tercantum dalam Al-Quran (Q.S. Az-Zumar:17-18, Al-Baqarah:170).
Karena sifatnya yang universal, yang dengan demikian ajarannya mencakup seluruh bidang kehidupan manusia, Islam sama sekali menolak paham sekularisme.
Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan politik seperti direkomendasikan kaum sekularis.
2. Fleksibel
Ajaran Islam luwes, tidak kaku (rigid). Ia memberi keleluasaan kepada pemeluknya, khsusunya para ulama, untuk mengambil hukum bagi perkara-perkara baru, yang tidak muncul pada masa Rasulullah Muhammad Saw, baik menyangkut benda maupun perbuatan, yang sebelumnya belum ditetapkan.Hal itu karena Islam datang untuk memecahkan segala perkara yang ada hingga Hari Akhir. Dengan keluasannya tersebut, Islam bisa memecahkan masalah-masalah baru yang senantiasa terus berkembang.
Sebagai contoh, jika ada seorang Muslim yang bertanya apa hukumnya menggunakan kendaraan seperti roket, kapal laut, atau kapal selam, pastilah akan ditemukan jawabannya. Dalam al-Quran dinyatakan,
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dia menundukkan untukmu apa-apa yang di langit dan di bumi semuanya (sebagai Rahmat daripada-Nya)" (Q.S. A-Jasiyah:13).
Demikian pula dengan bagaimana hukum pemilikan senjata nuklir bagi kaum Muslimin (daulah Islam) bisa dikaji berdasarkan firman Allah SWT,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
"Dan siapkan untuk menghadapi mereka (kaum kuffar, musuh-musuhmu) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu..." (Q.S. A-Anfal:60).
'Illat hukum yang bisa diambil dari ayat tersebut, kaum Muslimin dalam menghadapi musuh-musuh Allah harus bersiap semaksimal mungkin hingga bisa menggetarkan mereka.
Dengan keluasaan hukum syariat ini, tuduhan bahwa syariat Islam ketinggalan zaman dan tidak bisa memecahkan masalah kekinian adalah tidak beralasan sama sekali bahkan menyesatkan. Dalam Islam ada syariat yang telah ditetapkan dan ada suatu “jalan terbuka” (pintu ijtihad).
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap orang dari kamu, Kami telah menciptakan satu syariat dan satu jalan terbuka” (Q.S. Al-Maidah [5]:48).
Banyak sekali ayat Al-Quran yang mengaitkan keimanan seorang Muslim dengan keterikatannya kepada aturan-aturan Allah dalam segenap aspek kehidupannya. Jadi, antara iman dan amal dalam pandangan Islam, tidak bisa dipisahkan.
وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh (melaksanakan segala perintah Allah) dan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran" (Q.S. Al-'Ashr:1-3).
Keimanan dengan amal saleh merupakan syarat kebangkitan yang dijanjikan oleh Allah SWT.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
" Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (Q.S. An-Nur:55).
Demikian pentingnya perkaitan antara keimanan dengan keterikatan kepada segenap aturan Allah, ditegaskan dalam berbagai firman-Nya yang menyebut belum beriman atau kufur bagi orang-orang yang tidak mau tunduk kepada aturan Allah SWT.
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Q.S. Al-Maidah:44).
Islam, dengan demikian, adalah agama untuk diamalkan, bukan sekadar untuk diketahui atau dikagumi. Ia agama 'amaliyah (praktis). Tidak ada satu pun perintah Allah yang tidak bisa dilaksanakan manusia. Maka, tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa hukum Islam itu utopis (khayalan) yang tidak bisa dilaksanakan oleh manusia.
Sebagai contoh, jika ada seorang Muslim yang bertanya apa hukumnya menggunakan kendaraan seperti roket, kapal laut, atau kapal selam, pastilah akan ditemukan jawabannya. Dalam al-Quran dinyatakan,
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dia menundukkan untukmu apa-apa yang di langit dan di bumi semuanya (sebagai Rahmat daripada-Nya)" (Q.S. A-Jasiyah:13).
Demikian pula dengan bagaimana hukum pemilikan senjata nuklir bagi kaum Muslimin (daulah Islam) bisa dikaji berdasarkan firman Allah SWT,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
"Dan siapkan untuk menghadapi mereka (kaum kuffar, musuh-musuhmu) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu..." (Q.S. A-Anfal:60).
'Illat hukum yang bisa diambil dari ayat tersebut, kaum Muslimin dalam menghadapi musuh-musuh Allah harus bersiap semaksimal mungkin hingga bisa menggetarkan mereka.
Dengan keluasaan hukum syariat ini, tuduhan bahwa syariat Islam ketinggalan zaman dan tidak bisa memecahkan masalah kekinian adalah tidak beralasan sama sekali bahkan menyesatkan. Dalam Islam ada syariat yang telah ditetapkan dan ada suatu “jalan terbuka” (pintu ijtihad).
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap orang dari kamu, Kami telah menciptakan satu syariat dan satu jalan terbuka” (Q.S. Al-Maidah [5]:48).
3. Praktis
Agama Islam datang untuk diterapkan dalam segenap aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, bagi seorang yang beriman kepada Islam, wajiblah dia melaksanakan aturan-aturan Allah dalam kehidupannya sehari-hari.Banyak sekali ayat Al-Quran yang mengaitkan keimanan seorang Muslim dengan keterikatannya kepada aturan-aturan Allah dalam segenap aspek kehidupannya. Jadi, antara iman dan amal dalam pandangan Islam, tidak bisa dipisahkan.
وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh (melaksanakan segala perintah Allah) dan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran" (Q.S. Al-'Ashr:1-3).
Keimanan dengan amal saleh merupakan syarat kebangkitan yang dijanjikan oleh Allah SWT.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
" Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (Q.S. An-Nur:55).
Demikian pentingnya perkaitan antara keimanan dengan keterikatan kepada segenap aturan Allah, ditegaskan dalam berbagai firman-Nya yang menyebut belum beriman atau kufur bagi orang-orang yang tidak mau tunduk kepada aturan Allah SWT.
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Q.S. Al-Maidah:44).
Islam, dengan demikian, adalah agama untuk diamalkan, bukan sekadar untuk diketahui atau dikagumi. Ia agama 'amaliyah (praktis). Tidak ada satu pun perintah Allah yang tidak bisa dilaksanakan manusia. Maka, tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa hukum Islam itu utopis (khayalan) yang tidak bisa dilaksanakan oleh manusia.
4. Manusiawi
Islam adalah dien (agama) yang sangat manusiawi (sesuai dengan fitrah atau kodrat manusia).Ajaran Islam dapat diamalkan oleh seluruh umat manusia karena memang sesuai dengan fitrah dan kemampuannya. Allah SWT menegaskan, tidak akan membebani manusia kecuali apa-apa yang manusia sanggup memikulnya.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
“Tidaklah Allah membebani seseorang dengan suatu beban kecuali sesuai dengan kemampuannya” (Q.S. Al-Baqarah:286).
Sifat manusiswi Islam juga tampak dari seruan Islam kepada seluruh manusia, bukan kepada bangsa, kaum, atau suku tertentu. Bukan pula hanya kepada sekelompok orang dengan ciri fisik dan ras tertentu.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa" (Q.S. Al-Baqarah:21).
Fitrah atau pembawaan manusia sejak lahir adalah berjiwa monoteisme atau tauhid --mengesakan atau menuhankan Allah SWT semata.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
“Tidaklah Allah membebani seseorang dengan suatu beban kecuali sesuai dengan kemampuannya” (Q.S. Al-Baqarah:286).
Sifat manusiswi Islam juga tampak dari seruan Islam kepada seluruh manusia, bukan kepada bangsa, kaum, atau suku tertentu. Bukan pula hanya kepada sekelompok orang dengan ciri fisik dan ras tertentu.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa" (Q.S. Al-Baqarah:21).
Fitrah atau pembawaan manusia sejak lahir adalah berjiwa monoteisme atau tauhid --mengesakan atau menuhankan Allah SWT semata.
Sebelum diciptakan dalam wujud sempurna manusia yang terdiri dari ruhani (jiwa, ruh) dan jasmani (badan, tubuh, raga), seluruh ruh manusia dikumpulkan di suatu tempat oleh Allah SWT --dikenal dengan “Alam Arwah”.
Pada saat itu Allah SWT bertanya, sekaligus "membaiat" mereka untuk menuhankan-Nya alias mengakui Allah SWT sebagai Tuhan mereka. Mereka pun --termasuk kita tentunya-- pada saat itu bersedia "dibaiat" sebagai bentuk "perjanjian" dengan-Nya.
Kisah tersebut diabadikan dalam Q.S. Al-A'raf:172-173, yang mengisyaratkan bahwa setiap manusia pada asalnya adalah mukmin, beriman kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (tauhid), ataupun Muslim dalam pengertian berpasrah diri sebagai 'abid (hamba) Allah SWT semata.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman: 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?'. Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi'. (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (badi Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Q.S. Al-A'raf [7]:172).
Jadi, akidah tauhid itulah fitrah manusia. Merujuk kepada ayat itu dapat dikatakan, sesungguhnya manusia telah bertauhid sejak ia di alam arwah.
Kisah tersebut diabadikan dalam Q.S. Al-A'raf:172-173, yang mengisyaratkan bahwa setiap manusia pada asalnya adalah mukmin, beriman kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (tauhid), ataupun Muslim dalam pengertian berpasrah diri sebagai 'abid (hamba) Allah SWT semata.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman: 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?'. Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi'. (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (badi Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Q.S. Al-A'raf [7]:172).
Jadi, akidah tauhid itulah fitrah manusia. Merujuk kepada ayat itu dapat dikatakan, sesungguhnya manusia telah bertauhid sejak ia di alam arwah.
Hal ini juga bermakna, Allah SWT menciptakan manusia dengan kodrat yang hanief, memihak kepada kebenaran, sebagaimana juga Islam diciptakan atas kodrat yang hanief atau sesuai dengan fitrah manusia, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengimani dan mengamalkan ajaran Islam.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang hanief (Islam). Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah (Islam) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Rum [30]:30).
Kalaupun kemudian banyak, bahkan kebanyakan, manusia menjadi sesat, tidak beriman, menolak, atau membenci Islam, penyebabnya antara lain karena mereka:
a. Tidak mendapat tuntunan ruhaniah dan pendidikan tauhid,
b. Tidak sampainya informasi Islam dengan benar kepada mereka, atau
c. Karena mendapat pengaruh lingkungan yang buruk, terutama di lingkungan keluarga.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang hanief (Islam). Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah (Islam) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Rum [30]:30).
Kalaupun kemudian banyak, bahkan kebanyakan, manusia menjadi sesat, tidak beriman, menolak, atau membenci Islam, penyebabnya antara lain karena mereka:
a. Tidak mendapat tuntunan ruhaniah dan pendidikan tauhid,
b. Tidak sampainya informasi Islam dengan benar kepada mereka, atau
c. Karena mendapat pengaruh lingkungan yang buruk, terutama di lingkungan keluarga.
Itulah sebabnya Nabi Saw menegaskan,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci, beriman-bertauhid), kedua orangtuanyalah --atau lingkungannnya-- yang dapat menjadikannnya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi).
Kehidupan dunia ini merupakan cobaan. Cobaan dimaksud utamanya menguji jiwa tauhid manusia tadi. Apakah ia kukuh memegang prinsip tauhidnya atau tidak. Makanya, di dunia ini jiwa manusia dilengkapi dengan jasmani. Jasmani itulah yang dapat memalingkan manusia terhadap ketauhidannya.
Jasmani merasakan adanya berbagai kebutuhan untuk dipenuhi agar bertahan hidup. Ketika memenuhi kebutuhan itulah, manusia banyak yang melalaikan ketauhidannya. Belum lagi jika muncul ambisi dalam dirinya untuk kaya dan bertahta.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci, beriman-bertauhid), kedua orangtuanyalah --atau lingkungannnya-- yang dapat menjadikannnya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi).
Kehidupan dunia ini merupakan cobaan. Cobaan dimaksud utamanya menguji jiwa tauhid manusia tadi. Apakah ia kukuh memegang prinsip tauhidnya atau tidak. Makanya, di dunia ini jiwa manusia dilengkapi dengan jasmani. Jasmani itulah yang dapat memalingkan manusia terhadap ketauhidannya.
Jasmani merasakan adanya berbagai kebutuhan untuk dipenuhi agar bertahan hidup. Ketika memenuhi kebutuhan itulah, manusia banyak yang melalaikan ketauhidannya. Belum lagi jika muncul ambisi dalam dirinya untuk kaya dan bertahta.
Untuk mencapai kaya dan tahta itu, banyak jalan yang dapat ditempuh. Ragam jalan ini pun termasuk cobaan dari Allah SWT. Jika ia konsisten dengan jalan halal, sebagaimana diinformasikan lewat ajaran Islam, berarti ia kukuh dengan jiwa tauhidnya.
Tauhid menuntun manusia untuk tetap menempatkan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan. Kepada-Nyalah ia mengabdi. Segala hukum-Nya ditaati. Larangan-Nya dijauhi dan perintah-Nya dijalankan.
Lawan tauhid adalah syirik, menyekutukan Allah SWT, meyakini Tuhan lebih dari satu, atau meyakini ada sesuatu yang setara kekuatan dan kharismanya dengan Tuhan. Dan dosa syirik ini tidak diampuni-Nya.
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar” (Q.S. An-Nisa [4]:48).
Islam mengajarkan umatnya untuk hidup seimbang antara memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani.
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi...” (Q.S. Al-Qashash [28]:77).
Tauhid menuntun manusia untuk tetap menempatkan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan. Kepada-Nyalah ia mengabdi. Segala hukum-Nya ditaati. Larangan-Nya dijauhi dan perintah-Nya dijalankan.
Lawan tauhid adalah syirik, menyekutukan Allah SWT, meyakini Tuhan lebih dari satu, atau meyakini ada sesuatu yang setara kekuatan dan kharismanya dengan Tuhan. Dan dosa syirik ini tidak diampuni-Nya.
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar” (Q.S. An-Nisa [4]:48).
5. Agama Keseimbangan
A. Keseimbangan Dunia-AkhiratIslam mengajarkan umatnya untuk hidup seimbang antara memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani.
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi...” (Q.S. Al-Qashash [28]:77).
لَيْسَ بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاخِرَتِهِ وَلاَ اخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتّى يُصِيْبُ مِنْهُمَاجَمِيْعًا فَاِنَّ الدَّنْيَا بَلَاغٌ اِلَى اْلاخِرَةِ وَلَاتَكُوْنُوْا كَلًّ عَلَى النَّاسِ
“Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia” (H.R. Ibnu ‘Asakir dari Anas).
Ungkapan dalam bahasa Arab menyebutkan:
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غداً
“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah kamu akan mati besok”
“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah kamu akan mati besok”
Islam sangat menekankan umatnya agar bekerja, mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini dengan tangan sendiri. Adanya siang dan malam dalam alam dunia ini, merupakan isyarat akan adanya kewajiban bekerja (pada siang hari).
وَّجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًاۚ
“Dan Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan” (Q.S. An-Naba’ [78]:11).
وَلَقَدْ مَكَّنّٰكُمْ فِى الْاَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ ࣖ
“Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih” (Q.S. Al-A’raf [7]:10).
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah” (Q.S. Al-Jum’ah [62]:10).
“Demi, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain...” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Bekerja mencari rezeki untuk memberi nafkah keluarga bahkan digolongkan beramal di jalan Allah (Fi Sabilillah). Sebagaimana Sabda Nabi Saw:
“Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah. Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah ‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan” (H.R. Thabrani).
Rasulullah Saw pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik” (H.R. Ahmad, Baihaqi, dan lain-lain).
Dari sejumlah nash di atas, maka dapat disimpulkan, Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja. Karenanya, dalam Islam bekerja termasuk ibadah karena bekerja termasuk kewajiban agama.
Islam tidak menginginkan umatnya melulu melakukan ibadah ritual yang sifatnya berhubungan langsung dengan Allah (hablum minallah), tetapi menginginkan umatnya juga memperhatikan urusan kebutuhan duniawinya sendiri (pangan, sandang, dan papan), jangan sampai menjadi pengangguran, peminta-minta, atau menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya kepada orang lain.
Dalam bekerja, Islam juga memberikan arahan atau tuntunan. Umat Islam diharuskan:
a. Bekerja sebaik-baiknya.
“Sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seorang pekerja jika ia berbuat sebaik-baiknya” (H.R. Ahmad).
b. Bekerja keras atau rajin.
“Siapa bekerja keras hingga lelah dari kerjanya, maka ia terampuni (dosanya) karenanya” (Al-Hadits).
“Berpagi-pagilah dalam mencari rezeki dan kebutuhan hidup. Sesungguhnya pagi-pagi itu mengandung berkah dan keberuntungan” (H.R. Ibnu Adi dari Aisyah).
c. Menekankan pentingnya kualitas kerja atau mutu produk.
“Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya” (Al-Hadits).
d. Menjaga harga diri serta bekerja sesuai aturan yang ada.
“Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Menjaga harga diri bisa berarti tidak melanggar aturan, tidak melakukan perbuatan yang membawa aib pada diri sendiri, namun sebaliknya, berusaha maksimal mencapai prestasi dan prestise. Yang dimaksud “segala persoalan berjalan menurut aturan” artinya mematuhi tata tertib perusahaan atau bekerja sesuai prosedur yang berlaku (tidak boleh menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan).
B. Keseimbangan Hubungan dengan Allah dan Manusia.
Keseimbangan ajaran Islam juga tercermin dalam perintahnya untuk menjalin hubungan harmonis dengan Allah dan sesama manusia. Islam mengajarkan, kebahagiaan hidup tidak akan datang jika kita tidak membina hubungan yang baik dengan Allah (hablum minallah) dan sesama manusia (hablum minannaas).
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ اَيْنَ مَا ثُقِفُوْٓا اِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللّٰهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ
"Akan ditimpakan kehinaan pada mereka di mana saja mereka berada, kecuali mereka menjaga hubungan dengan Allah dan hubungan dengan (sesama) manusia." (QS Ali Imran [3]:112)
Dengan kata lain, bila kita tidak bisa atau melalaikan dan merusak hubungan baik dengan Allah SWT dan sesama manusia, maka kehinaanlah yang akan kita peroleh. Akan menjauh kebahagiaan hidup yang kita dambakan. Kedua hubungan itu harus sama-sama baik, tidak boleh cuma salah satunya.
Pada zaman Nabi Saw ada seorang wanita yang rajin beribadah, namun digolongkan ahli neraka (Hiya Fin Nar) karena hubungan dengan manusianya jelek.
Dalam bekerja, Islam juga memberikan arahan atau tuntunan. Umat Islam diharuskan:
a. Bekerja sebaik-baiknya.
“Sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seorang pekerja jika ia berbuat sebaik-baiknya” (H.R. Ahmad).
b. Bekerja keras atau rajin.
“Siapa bekerja keras hingga lelah dari kerjanya, maka ia terampuni (dosanya) karenanya” (Al-Hadits).
“Berpagi-pagilah dalam mencari rezeki dan kebutuhan hidup. Sesungguhnya pagi-pagi itu mengandung berkah dan keberuntungan” (H.R. Ibnu Adi dari Aisyah).
c. Menekankan pentingnya kualitas kerja atau mutu produk.
“Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya” (Al-Hadits).
d. Menjaga harga diri serta bekerja sesuai aturan yang ada.
“Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Menjaga harga diri bisa berarti tidak melanggar aturan, tidak melakukan perbuatan yang membawa aib pada diri sendiri, namun sebaliknya, berusaha maksimal mencapai prestasi dan prestise. Yang dimaksud “segala persoalan berjalan menurut aturan” artinya mematuhi tata tertib perusahaan atau bekerja sesuai prosedur yang berlaku (tidak boleh menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan).
B. Keseimbangan Hubungan dengan Allah dan Manusia.
Keseimbangan ajaran Islam juga tercermin dalam perintahnya untuk menjalin hubungan harmonis dengan Allah dan sesama manusia. Islam mengajarkan, kebahagiaan hidup tidak akan datang jika kita tidak membina hubungan yang baik dengan Allah (hablum minallah) dan sesama manusia (hablum minannaas).
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ اَيْنَ مَا ثُقِفُوْٓا اِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللّٰهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ
"Akan ditimpakan kehinaan pada mereka di mana saja mereka berada, kecuali mereka menjaga hubungan dengan Allah dan hubungan dengan (sesama) manusia." (QS Ali Imran [3]:112)
Dengan kata lain, bila kita tidak bisa atau melalaikan dan merusak hubungan baik dengan Allah SWT dan sesama manusia, maka kehinaanlah yang akan kita peroleh. Akan menjauh kebahagiaan hidup yang kita dambakan. Kedua hubungan itu harus sama-sama baik, tidak boleh cuma salah satunya.
Pada zaman Nabi Saw ada seorang wanita yang rajin beribadah, namun digolongkan ahli neraka (Hiya Fin Nar) karena hubungan dengan manusianya jelek.
Suatu hari, seperti biasa Rasulullah saw dan para sahabat berkumpul di masjid. Di depan masjid itu ada sebuah rumah tempat tinggal seorang wanita yang dikenal sebagai ahli ibadah. Ketika wanita itu keluar rumah hendak melaksanakan shalat berjamaah di masjid, para sahabat memuji-mujinya, dan ada yang berkata, "Tentulah dia itu ahli syurga, karena dia selalu puasa di siang hari dan shalat di waktu malam."
Kemudian Rasulullah saw bangkit dari tempat duduknya dan menjawab, "La! Hiya fin naar. Hiya fin naar.." Tidak! Dia ahli neraka.. Dia ahli neraka..!
Para sahabat bertanya-tanya, "Kenapa?" Lalu Rasulullah Saw menjawab: “Sebab mulutnya selalu menyakiti orang lain. Dia suka mengganggu tetangganya dengan ucapannya. Seluruh amal ibadahnya hancur, karena dia punya akhlak yang buruk. Dia menjadi ahli neraka karena ibadahnya tidak mampu menjadi motivasi baginya untuk berakhlak yang baik.
“Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka hendaklah dia berkata perkataan yang baik atau diam." (HR. Bukhari)
Bagaimana Islam menuntun kita untuk menjaga kedua hubungan itu agar baik dan harmonis?
Mengenai hal itu, ada sebuah hadits Nabi SAW. Dari Abu Dzar ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah setiap keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapuskannya, serta pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan hadits itu, maka satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Allah SWT adalah dengan cara bertakwa; dan satu-satunya cara menjaga hubungan baik dengan sesama manusia adalah dengan akhlak yang baik.
Dengan demikian, takwa dan akhlak yang baik adalah dua hal yang insya Allah bisa membawa kita kepada keselamatan dan kebahagiaan hidup, di dunia dan akhirat kelak. Sabda Nabi SAW,
“Rasulullah Saw ditanya tentang kebanyakan hal yang memasukkan manusia ke dalam sorga. Beliau menjawab: ‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik’. Dan beliau ditanya lagi tentang kebanyakan hal yang dapat memasukkan manusia ke neraka. Beliau menjawab: ‘Mulut dan kemaluan’” (H.R. Tirmidzi).
"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
“Rasulullah Saw ditanya tentang kebanyakan hal yang memasukkan manusia ke dalam sorga. Beliau menjawab: ‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik’. Dan beliau ditanya lagi tentang kebanyakan hal yang dapat memasukkan manusia ke neraka. Beliau menjawab: ‘Mulut dan kemaluan’” (H.R. Tirmidzi).
"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
6. Agama Dakwah
Islam adalah agama dakwah, harus disebarkan kepada seluruh umat manusia. Umat Islam bukan saja berkewajiban melaksanakan ajaran Islam dalam keseharian hidupnya, melainkan juga harus menyampaikan (tabligh) atau mendakwahkan kebenaran Islam terhadap orang lain.Selengkapnya: Islam Agama Dakwah
Demikian Karakteristik Islam: Universal, Fleksibel, Praktis, Seimbang. Wallahu a'lam bish-shawabi.
Referensi:
G.H. Jansen, Islam Militan, Pustaka Bandung, 1980.
Prof. Dr. Mutawalli Asy-Sya’rawi, Rezeki, GIP Jakarta, September 2000.
KHM Isa Anshary, Mujahid Dakwah, 1984
Dr. Yusuf Al-Qorodhowy, Fiqih Daulah, GIP Jakarta.
Dr. Fuad Amsyari, Masa Depan Umat Islam, Al-Bayan Bandung, 1993.
M. Natsir, Fiqhud Da’wah, CV Ramadhani Solo, November 1987
Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam.
Post a Comment