Hablum Minallah & Hablum Minanas Harus Seimbang. Ibadah Ritual dan Sosial Harus Seimbang.
Rajin ibadah saja, dalam pengertian ibadah mahdhoh, tidak cukup untuk menjadi Muslim yang baik.
Islam mengajarkan umatnya tentang keseimbangan hubungan dengan Allah SWT (Hablum Minallah) dan Hubungan dengan sesama manusia (Hablum Minan Nas).
Seorang Muslim tidak cukup rajin shalat, dzikir, baca Quran, dan ibadah ritual lainnya.
Ia harus pula menjalin hubungan harmonis dengan orang lain --tetangga, rekan kerja, sahabat, kerabat, dan bahkan yang tidak dikenal.
"Akan ditimpakan kehinaan kepada mereka kecuali mereka menjalin hubungan baik dengan Allah dan dengan sesama manusia" (QS. Ali Imran 3: 112).
Dalam sebuah hadits shahih tentang amal sholih (kebaikan), dari 7 jenis amal baik yang disebutkan Rasulullah Saw, lima di antaranya berkaitan dengan hablum minannas atau interaksi sosial. Baca: Islam Ajarkan Umatnya Peduli Sesama.
Hal itu menunjukkan, Muslim yang baik bukan hanya rajin ibadah ritual, tapi juga suka ibadah sosial. Dalam istilah populer dikenal dengan "kesalehan sosial", yakni kebaikan sikap terhadap sesama.
Bahkan Rasululullah Saw menegaskan:
"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengutip sebuah kisah menarik. Pada zaman Nabi Saw, ada seorang wanita yang rajin beribadah, puasa dan shalat malam, namun oleh Rasul Saw ia digolongkan sebagai ahli neraka (Hiya Fin Nar) karena hubungan dengan manusianya jelek alias berakhlak buruk --suka menyakiti tetangga dengan lisannya.
Kisah menarik lainnya adalah tentang ratusan ribu orang tidak diterima ibadah hajinya, kecuali ada satu orang tukang sepatu bernama Muwaffaq dari Damsyik (Damaskus), yang tak bisa berangkat haji, namun hajinya diterima.
Muwaffaq tidak pergi haji, namun Allah mencatatnya telah berhaji. Diriwayatkan, sebenarnya ia sudah berniat untuk pergi ibadah haji. Ia punya bekal sebesar 300 dirham atas jasanya menambal sepatu seseorang.
Dengan sejumlah uang tersebut, Muwaffaq berniat untuk pergi berhaji, ia merasa dirinya telah mampu berangkat haji. Namun, sebelum niat itu terlaksana, ia mendapati rumah tetangganya yang dihuni anak-anak yatim sedang mengalami kesulitan makanan.
Uang 300 dirham simpanannya, yang rencananya digunakan untuk biaya ibadah haji, diberikan kepada tetangganya tersebut agar bisa dibelanjakan bagi anak-anak yatim di sana. Sedekah Muwaffaq dinilai sebagai ibadah haji oleh Allah SWT.
Orang Bangkrut di Akhirat
Tadzkirah lain tentang pentingnya hubungan baik dengan sesama manusia adalah peringatan Rasulullah Saw tentang orang yang bangkrut di akhirat.
Perbuatan aniaya atau perilaku buruk menyakiti orang lain akan menghilangkan pahala shalat, puasa, zakat yang sudah dikerjakan
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang.” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Karenanya, Rasulullah Saw juga menganjurkan meminta kehalalan (minta maaf) selama di dunia.
“Siapa yang pernah berbuat kedzaliman terhadap saudaranya baik
menyangkut kehormatan saudaranya atau perkara-perkara lainnya, maka
hendaklah ia meminta kehalalan dari saudaranya tersebut pada hari ini
(di dunia) sebelum (datang suatu hari di mana di sana) tidak ada lagi
dinar dan tidak pula dirham (untuk menebus kesalahan yang dilakukan,
yakni pada hari kiamat). Bila ia memiliki amal shalih diambillah amal
tersebut darinya sesuai kadar kedzalimannya (untuk diberikan kepada
orang yang didzaliminya sebagai tebusan/pengganti kedzaliman yang pernah
dilakukannya). Namun bila ia tidak memiliki kebaikan maka diambillah
kejelekan orang yang pernah didzaliminya lalu dipikulkan kepadanya.” (HR Bukhari).
Demikian penting ibadah sosial, selain ibadah ritual. Jelas, rajin ibadah ritual saja tidak cukup. Islam mengajarkan keseimbangan ritual & sosial. Shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah mahdhah lainnya, harus diimbangi dengan kebaikan kepada sesama. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*
Rajin ibadah saja, dalam pengertian ibadah mahdhoh, tidak cukup untuk menjadi Muslim yang baik.
Islam mengajarkan umatnya tentang keseimbangan hubungan dengan Allah SWT (Hablum Minallah) dan Hubungan dengan sesama manusia (Hablum Minan Nas).
Seorang Muslim tidak cukup rajin shalat, dzikir, baca Quran, dan ibadah ritual lainnya.
Ia harus pula menjalin hubungan harmonis dengan orang lain --tetangga, rekan kerja, sahabat, kerabat, dan bahkan yang tidak dikenal.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
"Akan ditimpakan kehinaan kepada mereka kecuali mereka menjalin hubungan baik dengan Allah dan dengan sesama manusia" (QS. Ali Imran 3: 112).
Dalam sebuah hadits shahih tentang amal sholih (kebaikan), dari 7 jenis amal baik yang disebutkan Rasulullah Saw, lima di antaranya berkaitan dengan hablum minannas atau interaksi sosial. Baca: Islam Ajarkan Umatnya Peduli Sesama.
Hal itu menunjukkan, Muslim yang baik bukan hanya rajin ibadah ritual, tapi juga suka ibadah sosial. Dalam istilah populer dikenal dengan "kesalehan sosial", yakni kebaikan sikap terhadap sesama.
Bahkan Rasululullah Saw menegaskan:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengutip sebuah kisah menarik. Pada zaman Nabi Saw, ada seorang wanita yang rajin beribadah, puasa dan shalat malam, namun oleh Rasul Saw ia digolongkan sebagai ahli neraka (Hiya Fin Nar) karena hubungan dengan manusianya jelek alias berakhlak buruk --suka menyakiti tetangga dengan lisannya.
Kisah menarik lainnya adalah tentang ratusan ribu orang tidak diterima ibadah hajinya, kecuali ada satu orang tukang sepatu bernama Muwaffaq dari Damsyik (Damaskus), yang tak bisa berangkat haji, namun hajinya diterima.
Muwaffaq tidak pergi haji, namun Allah mencatatnya telah berhaji. Diriwayatkan, sebenarnya ia sudah berniat untuk pergi ibadah haji. Ia punya bekal sebesar 300 dirham atas jasanya menambal sepatu seseorang.
Dengan sejumlah uang tersebut, Muwaffaq berniat untuk pergi berhaji, ia merasa dirinya telah mampu berangkat haji. Namun, sebelum niat itu terlaksana, ia mendapati rumah tetangganya yang dihuni anak-anak yatim sedang mengalami kesulitan makanan.
Uang 300 dirham simpanannya, yang rencananya digunakan untuk biaya ibadah haji, diberikan kepada tetangganya tersebut agar bisa dibelanjakan bagi anak-anak yatim di sana. Sedekah Muwaffaq dinilai sebagai ibadah haji oleh Allah SWT.
Orang Bangkrut di Akhirat
Tadzkirah lain tentang pentingnya hubungan baik dengan sesama manusia adalah peringatan Rasulullah Saw tentang orang yang bangkrut di akhirat.
Perbuatan aniaya atau perilaku buruk menyakiti orang lain akan menghilangkan pahala shalat, puasa, zakat yang sudah dikerjakan
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ
دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي
مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ،
وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ
دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا
عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي
النَّارِ
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang.” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Karenanya, Rasulullah Saw juga menganjurkan meminta kehalalan (minta maaf) selama di dunia.
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ
وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كاَنَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ
مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ
صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
Demikian penting ibadah sosial, selain ibadah ritual. Jelas, rajin ibadah ritual saja tidak cukup. Islam mengajarkan keseimbangan ritual & sosial. Shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah mahdhah lainnya, harus diimbangi dengan kebaikan kepada sesama. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*
Post a Comment