Orang yang Mengaku Muslim Belum Tentu Benar-Benar Beriman. Masalah "Saya Muslim Saya Pilih A".
TANYA: Bolehkah seorang Muslim mengatakan "Saya Muslim saya pilih A" seperti fenomena akhir-akhir ini?
JAWAB: Ada dua bagian perkara dalam persoalan ini. Pertama, perkara mengaku "Saya Muslim". Perkara kedua, "Saya pilih A".
Namun, pernyataan tersebut merupakan "propaganda politik" sekaligus bernada provokasi, seolah-olah hendak mengatakan: Meskipun saya Muslim, saya pilih A yang bukan Muslim".
Jelas, ini pernyataan politis alias propaganda alias kampanye dengan mengatasnamakan agama (Islam). Jelas pula, ini berbau SARA.
Hukum mengatakan "Saya Muslim" itu tidak dilarang alias boleh, dalam konteks sebagaimana ayat-ayat berikut ini:
"Katakanlah: "Hai Ahlul Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb-Rabb selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS Ali Imran [3]: 64).
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri? (QS. 41:33).
Dalam Al-Quran juga ada lafadz "Wa Ana Awalul Muslimin" sebagaimana ayat berikut ini yang jadi bacaan doa iftitah dalam shalat:
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS Al-An’am : 162 – 163).
Note:
Dalam Doa Iftitah, kalimat "wa ana awalul Muslimin" menjadi "Wa ana minal Muslimin" (dan saya bagian dari kaum Muslim".
Kata Muslim terdapat antara lain dalam QS Ali Imran [3]:52, yaitu pernyataan pengikut Nabi Isa a.s.
"Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia Nabi Isa a.s.) berkata kepada Isa: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri." (QS Ali Imran [3]:52).
Muslim adalah sebutan bagi pemeluk agama Islam. Jadi, jika seseorang mengatakan "Saya Muslim", maka artinya "Saya beragama Islam" atau "Saya penganut Islam". Kaum Muslim disebut juga Umat Islam.
Sifat-sifat atau karakter yang dilekatkan Allah SWT kepada kaum Muslim (umat Islam) antara lain sebagai berikut:
1. Umat Pilihan atau Umat Terbaik.
“Kalian (umat Islam) adalah umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah…” (Q.S. 3:110).
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang beriman” (Q.S. 3:139).
2. Umat Pertengahan.
“Demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan, supaya kami menjadi saksi atas manusia” (Q.S. 2:143);
Umat Pertengahan maksudnya adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau mengambil jalan tengah, yaitu sikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus.
Dengan demikian, sebagai umat pertengahan, umat Islam:
“Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Q.S. Al-A’raf:31).
“Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian” (Q.S. Al-Furqon:67).
“Hindarkanlah daripadamu sikap melampuai batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya” (H.R. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas).
3. Tegas terhadap Orang Kafir dan Berkasih Sayang dengan Sesama Muslim.
“Dan orang-orang yang bersama dengan dia (Muhammad) adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka” (Q.S. Al-Fath:29).
Tegas terhadap Orang Kafir
Umat Islam bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yakni kaum kuffar yang memusuhi, membenci, dan memerangi umat Islam.
“Perangilah di jalan Allah setiap orang yang memusuhi kamu dan janganlah kamu melampaui batas (berbuat zhalim). Karena Allah tidak suka kepada orang yang melampaui batas” (Q.S. 2:190).
Berperang di jalan Allah, antara lain berupa berperang melawan orang kafir yang memerangi umat Islam, disebut jihad fi sabilillah. Asal makna jihad adalah mengeluarkan segala kesungguhan, kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini (di’tikadkan) bahwa jalan itulah yang benar. Secara harfiyah, jihad berarti pengerahan seluruh potensi (untuk menangkis serangan musuh).
Berkasih Sayang terhadap Sesama Muslim
Umat Islam adalah saudara satu sama lain karena ikatan akidah, syari’ah, dan akhlak yang sama, yakni Islam (ukhuwah Islamiyah).
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” (Q.S. AL-Hujurat:10).
Karena bersaudara, maka sesama Muslim sayang-menyayangi satu sama lain.
“Sesama orang mukmin itu bagaikan satu bangunan yang saling meguatkan” (H.R. Bukhari).
“Tidak beriman seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (H.R. Bukhori dan Muslim).
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih-mengasihinya, sayang-menyayanginya, dan santun-menyantuninya, bagaikan satu tubuh yang jika satu anggotanya menderita sakit maka menderita pula keseluruhan tubuh…” (H.R. Muslim).
“Orang Muslim ialah yang menyelamatkan kaum Muslim dari (kejahatan) lisannya dan tangannya. Dan Muhajir itu ialah siapa yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah” (H.R. Muslim).
“Ada lima kewajiban seorang Muslim terhadap Muslim lainnya: menjawab salam, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mengunjungi ketika sakit, bertasymit ketika bersih membaca hamdalah” (H.R. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Jadi, bisa dikatakan, orang yang mengaku Muslim belum tentu ia benar-benar beriman kepada Allah SWT sebagaimana ayat berikut ini:
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (14) Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (Qs. al-Hujurat: 14-15)
Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa sabab nuzȗl dari dua ayat ini adalah sama dan ringkasannya adalah berikut ini.
Sekelompok orang dari Bani Asad datang ke Madinah pada musim paceklik dan kelaparan, mereka menggucapkan dua kalimat syahadat dengan lidah mereka untuk mendapatkan bantuan dari Nabi saw. dan mengatakan kepada Rasulullah bahwa sekelompok orang Arab telah menunggang kuda dan memerangimu namun kami mendatangimu bersama anak-anak dan istri-istri kami bukan untuk memerangimu.
Dengan mengatakan demikian mereka ingin menunjukkan bahwa mereka telah memberikan nikmat kepada Nabi melalui cara tersebut maka turunlah dua ayat di atas dan mengungkap bahwa keislaman mereka hanya di luar saja dan keimanan belum masuk ke dalam lubuk hati mereka, jika mereka memang beriman mereka seharusnya tidak merasa telah memberi nikmat kepada Rasulullah saw karena keimanan mereka tetapi Allah lah yang melimpahkan nikmat kepada mereka dengan memberikan mereka petunjuk untuk beriman.
Ayat ini dan ayat-ayat setelahnya sampai akhir surat menyinggung tentang kondisi orang Arab Badui yang mengaku beriman kepada Nabi saw.
Firman Allah “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. katakanlah: “Kamu belum beriman” yakni mereka mengatakan kami telah beriman kepadamu dan mereka mengaku beriman, katakanlah kalian belum beriman sesungguhnya mereka berbohong dalam klaim mereka.
Ayat “karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” adalah untuk menafikan masuknya iman ke dalam hati mereka dengan menunggunya untuk masuk.
Rasulullah Saw bersabda:
“Islam adalah yang tampak di luar sedangkan iman adanya di dalam hati”.
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Iman adalah ikrar (pengakuan) dan amalan sedangkan Islam adalah ikrar tanpa amalan”.
Dari al-A’mas dari Imam Ja’far bin Muhammad as beliau berkata:
“Islam itu bukanlah iman, setiap mukmin itu muslim tapi tidak setiap muslim itu mukmin”
Khatimah
Demikian ulasan tentang hukum mengatakan "Saya Muslim saya pilih A" dikaitkan dengan makna atau pengertian Muslim sertka karakteristik Muslim yang sebenarnya menurut Al-Quran dan Hadits.
Orang yang mengaku Muslim belum tentu beriman karena makna Muslim dan Mukmin itu berbeda dari segi akidah.
Semoga saja pernyataan "Saya Muslim saya Pilih A" tidak bermaksud melecehkan perintah Allah SWT tentang memilih pemimpin dalam Islam.
Jangan sampai ada tendensi mengatakan "Saya Muslim tapi saya mengabaikan ajaran Islam tentang kepemimpinan". Na'udzubillahi min dzalik. Wallahu a'lam bish-shawabi.***
Sumber:
TANYA: Bolehkah seorang Muslim mengatakan "Saya Muslim saya pilih A" seperti fenomena akhir-akhir ini?
JAWAB: Ada dua bagian perkara dalam persoalan ini. Pertama, perkara mengaku "Saya Muslim". Perkara kedua, "Saya pilih A".
Namun, pernyataan tersebut merupakan "propaganda politik" sekaligus bernada provokasi, seolah-olah hendak mengatakan: Meskipun saya Muslim, saya pilih A yang bukan Muslim".
Jelas, ini pernyataan politis alias propaganda alias kampanye dengan mengatasnamakan agama (Islam). Jelas pula, ini berbau SARA.
Hukum mengatakan "Saya Muslim" itu tidak dilarang alias boleh, dalam konteks sebagaimana ayat-ayat berikut ini:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri? (QS. 41:33).
Dalam Al-Quran juga ada lafadz "Wa Ana Awalul Muslimin" sebagaimana ayat berikut ini yang jadi bacaan doa iftitah dalam shalat:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS Al-An’am : 162 – 163).
Note:
Dalam Doa Iftitah, kalimat "wa ana awalul Muslimin" menjadi "Wa ana minal Muslimin" (dan saya bagian dari kaum Muslim".
Makna Muslim
Sejumlah literatur Islam menyebutkan, Muslim (مسلم) secara harfiyah berarti "seseorang yang berserah diri", yakni berserah diri kepada Allah SWT. Diambil darin kata aslama yang bermakna menyerahkan diri.Kata Muslim terdapat antara lain dalam QS Ali Imran [3]:52, yaitu pernyataan pengikut Nabi Isa a.s.
"Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia Nabi Isa a.s.) berkata kepada Isa: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri." (QS Ali Imran [3]:52).
Muslim adalah sebutan bagi pemeluk agama Islam. Jadi, jika seseorang mengatakan "Saya Muslim", maka artinya "Saya beragama Islam" atau "Saya penganut Islam". Kaum Muslim disebut juga Umat Islam.
Muslim yang Sebenarnya
Namun, demikian apakah seseorang benar-benar Muslim atau bukan, harus dilihat dari ciri-ciri Muslim menurut Al-Quran dan Al-Hadits.Sifat-sifat atau karakter yang dilekatkan Allah SWT kepada kaum Muslim (umat Islam) antara lain sebagai berikut:
1. Umat Pilihan atau Umat Terbaik.
“Kalian (umat Islam) adalah umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah…” (Q.S. 3:110).
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang beriman” (Q.S. 3:139).
2. Umat Pertengahan.
“Demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan, supaya kami menjadi saksi atas manusia” (Q.S. 2:143);
Umat Pertengahan maksudnya adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau mengambil jalan tengah, yaitu sikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus.
Mengambil jalan tengah dapat dimaknai pula sebagai selalu bersikap proporsional (i’tidal), tidak berlebih-lebihan (israf), tidak kelewat batas (ghuluw), tidak sok pintar atau sok konsekuen dan bertele-tele (tanathu’), dan tidak mempersulit diri (tasydid).
Dengan demikian, sebagai umat pertengahan, umat Islam:
- Ttidak berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk ibadah (misalnya sampai meninggalkan kehidupan duniawi) dan dalam peperangan sekalipun (Q.S. 2:190)
- Tidak membesar-besarkan masalah kecil
- Mendahulukan yang wajib atau lebih penting ketimbang yang sunah atau kurang penting
- Berbicara seperlunya alias tidak bertele-tele
- Tidak terlalu panjang membaca ayat-ayat dalam mengimami shalat berjamaah.
“Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Q.S. Al-A’raf:31).
“Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian” (Q.S. Al-Furqon:67).
“Hindarkanlah daripadamu sikap melampuai batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya” (H.R. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas).
3. Tegas terhadap Orang Kafir dan Berkasih Sayang dengan Sesama Muslim.
“Dan orang-orang yang bersama dengan dia (Muhammad) adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka” (Q.S. Al-Fath:29).
Tegas terhadap Orang Kafir
Umat Islam bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yakni kaum kuffar yang memusuhi, membenci, dan memerangi umat Islam.
“Perangilah di jalan Allah setiap orang yang memusuhi kamu dan janganlah kamu melampaui batas (berbuat zhalim). Karena Allah tidak suka kepada orang yang melampaui batas” (Q.S. 2:190).
Berperang di jalan Allah, antara lain berupa berperang melawan orang kafir yang memerangi umat Islam, disebut jihad fi sabilillah. Asal makna jihad adalah mengeluarkan segala kesungguhan, kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini (di’tikadkan) bahwa jalan itulah yang benar. Secara harfiyah, jihad berarti pengerahan seluruh potensi (untuk menangkis serangan musuh).
Berkasih Sayang terhadap Sesama Muslim
Umat Islam adalah saudara satu sama lain karena ikatan akidah, syari’ah, dan akhlak yang sama, yakni Islam (ukhuwah Islamiyah).
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” (Q.S. AL-Hujurat:10).
Karena bersaudara, maka sesama Muslim sayang-menyayangi satu sama lain.
“Sesama orang mukmin itu bagaikan satu bangunan yang saling meguatkan” (H.R. Bukhari).
“Tidak beriman seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (H.R. Bukhori dan Muslim).
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih-mengasihinya, sayang-menyayanginya, dan santun-menyantuninya, bagaikan satu tubuh yang jika satu anggotanya menderita sakit maka menderita pula keseluruhan tubuh…” (H.R. Muslim).
“Orang Muslim ialah yang menyelamatkan kaum Muslim dari (kejahatan) lisannya dan tangannya. Dan Muhajir itu ialah siapa yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah” (H.R. Muslim).
“Ada lima kewajiban seorang Muslim terhadap Muslim lainnya: menjawab salam, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mengunjungi ketika sakit, bertasymit ketika bersih membaca hamdalah” (H.R. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Muslim Beda dengan Mukmin
Harus diingat pula, pengertian Muslim berbeda dengan Mukmin. Muslim adalah orang yang pasrah kepada Allah. Mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah SWT.Jadi, bisa dikatakan, orang yang mengaku Muslim belum tentu ia benar-benar beriman kepada Allah SWT sebagaimana ayat berikut ini:
قالَتِ الْأَعْرابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمالِكُمْ شَيْئاً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٤) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتابُوا وَجاهَدُوا بِأَمْوالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (14) Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (Qs. al-Hujurat: 14-15)
Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa sabab nuzȗl dari dua ayat ini adalah sama dan ringkasannya adalah berikut ini.
Sekelompok orang dari Bani Asad datang ke Madinah pada musim paceklik dan kelaparan, mereka menggucapkan dua kalimat syahadat dengan lidah mereka untuk mendapatkan bantuan dari Nabi saw. dan mengatakan kepada Rasulullah bahwa sekelompok orang Arab telah menunggang kuda dan memerangimu namun kami mendatangimu bersama anak-anak dan istri-istri kami bukan untuk memerangimu.
Dengan mengatakan demikian mereka ingin menunjukkan bahwa mereka telah memberikan nikmat kepada Nabi melalui cara tersebut maka turunlah dua ayat di atas dan mengungkap bahwa keislaman mereka hanya di luar saja dan keimanan belum masuk ke dalam lubuk hati mereka, jika mereka memang beriman mereka seharusnya tidak merasa telah memberi nikmat kepada Rasulullah saw karena keimanan mereka tetapi Allah lah yang melimpahkan nikmat kepada mereka dengan memberikan mereka petunjuk untuk beriman.
Ayat ini dan ayat-ayat setelahnya sampai akhir surat menyinggung tentang kondisi orang Arab Badui yang mengaku beriman kepada Nabi saw.
Firman Allah “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. katakanlah: “Kamu belum beriman” yakni mereka mengatakan kami telah beriman kepadamu dan mereka mengaku beriman, katakanlah kalian belum beriman sesungguhnya mereka berbohong dalam klaim mereka.
Kemudian firman-Nya “tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’” adalah menyusul apa yang ditunjukkan oleh ayat sebelumnya maksudnya adalah jangan katakan kalian telah beriman tapi katakan kami telah tunduk (masuk Islam).
Ayat “karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” adalah untuk menafikan masuknya iman ke dalam hati mereka dengan menunggunya untuk masuk.
Rasulullah Saw bersabda:
الإسلام علانية و الإيمان في القلب
“Islam adalah yang tampak di luar sedangkan iman adanya di dalam hati”.
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Iman adalah ikrar (pengakuan) dan amalan sedangkan Islam adalah ikrar tanpa amalan”.
Dari al-A’mas dari Imam Ja’far bin Muhammad as beliau berkata:
و الاسلام غير الايمان، و كل مؤمن مسلم و ليس كل مسلم مؤمن
“Islam itu bukanlah iman, setiap mukmin itu muslim tapi tidak setiap muslim itu mukmin”
Khatimah
Demikian ulasan tentang hukum mengatakan "Saya Muslim saya pilih A" dikaitkan dengan makna atau pengertian Muslim sertka karakteristik Muslim yang sebenarnya menurut Al-Quran dan Hadits.
Orang yang mengaku Muslim belum tentu beriman karena makna Muslim dan Mukmin itu berbeda dari segi akidah.
Semoga saja pernyataan "Saya Muslim saya Pilih A" tidak bermaksud melecehkan perintah Allah SWT tentang memilih pemimpin dalam Islam.
Jangan sampai ada tendensi mengatakan "Saya Muslim tapi saya mengabaikan ajaran Islam tentang kepemimpinan". Na'udzubillahi min dzalik. Wallahu a'lam bish-shawabi.***
Sumber:
- Shahih Bukhari & Muslim
- Abul A’la Maududi , Pokok-Pokok Pandangan Hidup Muslim, IIFSO, 1978, hlm. 32.
- Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1993.
- Tafsir Fi Dzilal al-Quran & Ibnu Katsir
Post a Comment