Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, idealnya memiliki kesalehan individu dan sosial yang tinggi, sebagai hasil tempaan selama mereka melaksanakan ritual haji di Tanah Suci yang penuh hikmah.
ALKISAH, ada sepasang suami istri yang dikenal cukup taat beribadah dan mampu secara fisik, mental, dan material untuk melakukan ibadah haji. Namun, di tengah perjalanan menuju Mekkah, mereka bertemu dengan orang yang kelaparan. Karena berjiwa dermawan, sangat peduli dengan kaum yang lemah, mereka memilih membatalkan pergi ke Baitullah dengan memberikan bekal perjalanannya kepada orang tersebut, lalu kembali ke kampungnya.
Ketika sampai di rumah, suami-istri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih yang langsung menyambut dan menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, ''Kami tidak jadi hajinya.'' Penyambut tadi menjawab, ''Kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke Tanah Suci.''
Cerita sufistik yang cukup populer itu sangat aktual dan kontekstual untuk kita ulas sekarang ini, saat ratusan ribu umat Islam bersiap melaksanakan ibadah haji dan jutaan lainnya sudah bergelar ”H” atau ”Hj”.
Hikmah yang tersirat dalam kisah tadi utamanya adalah makna haji mabrur yang menyiratkan adanya watak kesalehan dan kepedulian sosial. Tegasnya, salah satu karakter haji mabrur ibadah haji yang diterima Allah SWT dengan imbalan syurga adalah tumbuhnya kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, bisa dikatakan ibadah haji merupakan salah satu pintu gerbang menuju kesalehan sosial.
Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, idealnya memiliki kesalehan individual-ritual dan sosial yang tinggi, sebagai hasil tempaan selama mereka berada di Tanah Suci. Karakteristik haji mabrur lebih rinci dikemukakan Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya, ''Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal: sikap wara' yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, sikap sabar yang dapat meredam amarah, dan bergaul baik dengan sesama manusia”.
Dengan kata lain, ibadah haji memiliki implikasi individual dan sosial. Jika implikasi ini tidak dimiliki jamaah haji, maka bisa jadi sabda Rasul SAW tadi berlaku pada mereka. Implikasi itu adalah individu yang kian wara' dan sabar serta bergaul baik dengan sesama. Wajar, jika haji mabrur menjadi satu amal utama dalam Islam selain iman dan jihad, dan hanya surga yang pantas diberikan sebagai imbalan haji mabrur.
Haji: Ritual-Sosial
Syarat dan rukun ibadah haji tidak semata-mata untuk kepentingan hablum minallah, tapi juga dijadikan pelajaran untuk membentuk kepribadian atau moralitas dalam pergaulan antara sesama manusia.
Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji merupakan keniscayaan bagi setiap umat Islam. Implikasi haji mabrur yang luar biasa tadi merupakan hasil dari tempaan ritual haji yang penuh sejarah dan hikmah. Bahkan, tempaan itu sudah dimulai saat seseorang berniat pergi ke Baitullah.
Ibadah haji tidak saja membutuhkan kesiapan fisik prima, harta untuk perjalanan, dan akomodasi, tapi juga harus memerlukan kesiapan mental yang tangguh. Seseorang memerlukan pengetahuan yang cukup bukan saja tentang ilmu haji itu sendiri, tapi juga ajaran Islam secara keseluruhan dan wawasan dunia Islam.
Dalam Islam, setiap jenis ibadah mengandung setidaknya tiga hal, yakni niat, ritus (praktik), dan pengaruh atau hikmah (sosial).
Ibadah haji tak sekadar membutuhkan niat yang benar (ikhlas, bukan riya' atau ingin dipuji orang lain), ritual atau amaliah yang benar sesuai sunnah Rasul, tapi juga membutuhkan bukti keikhlasan dan amaliah yang benar itu dengan adanya perubahan pada perilaku, baik secara transendental maupun secara sosial.
Hikmah Ibadah Haji
Hikmah ibadah haji bisa digali dari bacaan niat ibadah haji (talbiyah, ''Kami sambut seruan-Mu ya Allah, kami datang menunaikan panggilan-Mu ya Allah, kami datang ke hadirat-Mu, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah, segala puji, nikmat dan kekuasaan adalah untuk-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah.''
Kalimat itu mengandung makna pengakuan, kepasrahan, sekaligus kepatuhan dari seorang hamba kepada Sang Pencipta, sikap-sikap batin yang merupakan modal kuat bagi munculnya kejujuran, keikhlasan, dan rendah hati. Penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram) merupakan simbol kuat kepasrahan dan penghilangan egosentrisme.
Dalam pandangan Ali Syari'ati (1980), pakaian ihram melambangkan pelepasan semua sifat buruk dalam diri, yakni sifat serigala (kekejaman dan penindasan), tikus (kelicikan), anjing (tipu daya), dan kambing (penghambaan kepada selain Allah). ''Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya,'' kata Syari'ati. Dengan demikian, haji mabrur bisa membuat pelakunya menghilangkan semua sifat buruk tersebut dalam dirinya.
Napak Tilas
Ibadah haji secara lahiriah adalah napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim Itulah sebabnya ibadah haji disebut juga ziarah. Yakni, mengunjungi bukti-bukti sejarah sekaligus rekonstruksi episode perjuangan keluarga Nabi Ibrahim.
Lebih dari itu, ritual demi ritual ibadah haji menyiratkan status manusia di muka bumi dan mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan ini, mulai dari berpakaian ihram hingga tahalul. (Baca: ”Makna Simbolik Ibadah Haji”).
Kesalehan Individu dan Sosial
Jamaah haji yang melakukannya siap menjadi manusia baru yang memiliki kesalehan individual dan sosial. Kesalehan itulah yang menjadi modal bagi perbaikan diri, keluarga, lingkungan, dan bangsa secara keseluruhan. Maka, umat Islam yang akan dan sudah menunaikan ibadah haji diharapkan menjadi manusia-manusia baru, dengan semangat baru, untuk menjadi pionir dalam perbaikan bangsa yang sakit ini.
Sejatinya, makna substantif ibadah haji itu tidak terletak pada huruf "H" atau "Hj" di depan nama seseorang, tetapi pada aktualisasi nilai-nilai simbolik ibadah haji berupa kesalehan individu dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kemabruran haji tercermin pada kemampuan meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah.
Tegasnya, kemabruran ibadah haji ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang disandang, tetapi sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan itu membekas dalam hati, lalu tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, ibadah haji sejatinya merupakan sebuah proses untuk membentuk kepribadian seorang manusia dengan kualitas pribadi yang saleh secara individu dan sosial. Wallahu a'lam. (www.risalahislam.com).***
ALKISAH, ada sepasang suami istri yang dikenal cukup taat beribadah dan mampu secara fisik, mental, dan material untuk melakukan ibadah haji. Namun, di tengah perjalanan menuju Mekkah, mereka bertemu dengan orang yang kelaparan. Karena berjiwa dermawan, sangat peduli dengan kaum yang lemah, mereka memilih membatalkan pergi ke Baitullah dengan memberikan bekal perjalanannya kepada orang tersebut, lalu kembali ke kampungnya.
Ketika sampai di rumah, suami-istri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih yang langsung menyambut dan menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, ''Kami tidak jadi hajinya.'' Penyambut tadi menjawab, ''Kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke Tanah Suci.''
Cerita sufistik yang cukup populer itu sangat aktual dan kontekstual untuk kita ulas sekarang ini, saat ratusan ribu umat Islam bersiap melaksanakan ibadah haji dan jutaan lainnya sudah bergelar ”H” atau ”Hj”.
Hikmah yang tersirat dalam kisah tadi utamanya adalah makna haji mabrur yang menyiratkan adanya watak kesalehan dan kepedulian sosial. Tegasnya, salah satu karakter haji mabrur ibadah haji yang diterima Allah SWT dengan imbalan syurga adalah tumbuhnya kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, bisa dikatakan ibadah haji merupakan salah satu pintu gerbang menuju kesalehan sosial.
Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, idealnya memiliki kesalehan individual-ritual dan sosial yang tinggi, sebagai hasil tempaan selama mereka berada di Tanah Suci. Karakteristik haji mabrur lebih rinci dikemukakan Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya, ''Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal: sikap wara' yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, sikap sabar yang dapat meredam amarah, dan bergaul baik dengan sesama manusia”.
Dengan kata lain, ibadah haji memiliki implikasi individual dan sosial. Jika implikasi ini tidak dimiliki jamaah haji, maka bisa jadi sabda Rasul SAW tadi berlaku pada mereka. Implikasi itu adalah individu yang kian wara' dan sabar serta bergaul baik dengan sesama. Wajar, jika haji mabrur menjadi satu amal utama dalam Islam selain iman dan jihad, dan hanya surga yang pantas diberikan sebagai imbalan haji mabrur.
Haji: Ritual-Sosial
Syarat dan rukun ibadah haji tidak semata-mata untuk kepentingan hablum minallah, tapi juga dijadikan pelajaran untuk membentuk kepribadian atau moralitas dalam pergaulan antara sesama manusia.
Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji merupakan keniscayaan bagi setiap umat Islam. Implikasi haji mabrur yang luar biasa tadi merupakan hasil dari tempaan ritual haji yang penuh sejarah dan hikmah. Bahkan, tempaan itu sudah dimulai saat seseorang berniat pergi ke Baitullah.
Ibadah haji tidak saja membutuhkan kesiapan fisik prima, harta untuk perjalanan, dan akomodasi, tapi juga harus memerlukan kesiapan mental yang tangguh. Seseorang memerlukan pengetahuan yang cukup bukan saja tentang ilmu haji itu sendiri, tapi juga ajaran Islam secara keseluruhan dan wawasan dunia Islam.
Dalam Islam, setiap jenis ibadah mengandung setidaknya tiga hal, yakni niat, ritus (praktik), dan pengaruh atau hikmah (sosial).
Ibadah haji tak sekadar membutuhkan niat yang benar (ikhlas, bukan riya' atau ingin dipuji orang lain), ritual atau amaliah yang benar sesuai sunnah Rasul, tapi juga membutuhkan bukti keikhlasan dan amaliah yang benar itu dengan adanya perubahan pada perilaku, baik secara transendental maupun secara sosial.
Hikmah Ibadah Haji
Hikmah ibadah haji bisa digali dari bacaan niat ibadah haji (talbiyah, ''Kami sambut seruan-Mu ya Allah, kami datang menunaikan panggilan-Mu ya Allah, kami datang ke hadirat-Mu, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah, segala puji, nikmat dan kekuasaan adalah untuk-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah.''
Kalimat itu mengandung makna pengakuan, kepasrahan, sekaligus kepatuhan dari seorang hamba kepada Sang Pencipta, sikap-sikap batin yang merupakan modal kuat bagi munculnya kejujuran, keikhlasan, dan rendah hati. Penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram) merupakan simbol kuat kepasrahan dan penghilangan egosentrisme.
Dalam pandangan Ali Syari'ati (1980), pakaian ihram melambangkan pelepasan semua sifat buruk dalam diri, yakni sifat serigala (kekejaman dan penindasan), tikus (kelicikan), anjing (tipu daya), dan kambing (penghambaan kepada selain Allah). ''Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya,'' kata Syari'ati. Dengan demikian, haji mabrur bisa membuat pelakunya menghilangkan semua sifat buruk tersebut dalam dirinya.
Napak Tilas
Ibadah haji secara lahiriah adalah napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim Itulah sebabnya ibadah haji disebut juga ziarah. Yakni, mengunjungi bukti-bukti sejarah sekaligus rekonstruksi episode perjuangan keluarga Nabi Ibrahim.
Lebih dari itu, ritual demi ritual ibadah haji menyiratkan status manusia di muka bumi dan mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan ini, mulai dari berpakaian ihram hingga tahalul. (Baca: ”Makna Simbolik Ibadah Haji”).
Kesalehan Individu dan Sosial
Jamaah haji yang melakukannya siap menjadi manusia baru yang memiliki kesalehan individual dan sosial. Kesalehan itulah yang menjadi modal bagi perbaikan diri, keluarga, lingkungan, dan bangsa secara keseluruhan. Maka, umat Islam yang akan dan sudah menunaikan ibadah haji diharapkan menjadi manusia-manusia baru, dengan semangat baru, untuk menjadi pionir dalam perbaikan bangsa yang sakit ini.
Sejatinya, makna substantif ibadah haji itu tidak terletak pada huruf "H" atau "Hj" di depan nama seseorang, tetapi pada aktualisasi nilai-nilai simbolik ibadah haji berupa kesalehan individu dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kemabruran haji tercermin pada kemampuan meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah.
Tegasnya, kemabruran ibadah haji ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang disandang, tetapi sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan itu membekas dalam hati, lalu tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, ibadah haji sejatinya merupakan sebuah proses untuk membentuk kepribadian seorang manusia dengan kualitas pribadi yang saleh secara individu dan sosial. Wallahu a'lam. (www.risalahislam.com).***
Post a Comment