ORANG yang sudah melaksanakan ibadah haji bisanya diberi gelar “Haji” (H) untuk Muslim (pria) dan ”Hajjah” (Hj) untuk Muslimah (wanita).
Bahkan, tidak sedikit orang yang sudah berhaji sengaja mencantumkan gelar haji itu di depan namanya, atau mengenalkan diri dengan nama “Haji Fulan” atau “Hajjah Fulanah”.
Ada juga yang marah jika di depan namanya tidak diberi gelari haji atau tidak dipanggil dengan nama awal gelar haji.
Karena Biaya Haji itu Mahal?
Ibadah haji, bagi masyarakat Indonesia yang jauh dari kota suci Makkah, memiliki arti sendiri. Mahalnya biaya ibadah haji menjadikan pelaksanaan ibadah haji bagi sebagian orang menyimbolkan status sosial dan ekonomi, meski banyak juga yang naik haji karena "biaya dinas" atau dibiayai oleh uang rakyat/negara –dikenal dengan sebutan “Haji Abidin” (Atas Biaya Dinas), atau dibiayai oleh orang lain (“dihajikan”).
Beruntunglah orang-orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Ibadah ini sejatinya adalah dapat dilaksanakan dengan adanya “undangan” Allah.
Jamaah haji adalah tamu-tamu Allah yang berkunjung ke “rumah-Nya” (baitullah). Tidak sedikit orang yang mampu secara fisik, mental, dan finansial yang gagal atau belum kunjung bisa naik haji akibat berbagai faktor, mulai faktor waktu, terbatasnya kuota, hingga tidak ada niat (tidak mendapatkan hidayah), dan sebagainya.
Makna Gelar Haji/Hajjah
Dengan demikian, dalam perspektif duniawi, gelar haji wajar diberikan sebagai penghormatan, salut, dan penghargaan bagi mereka yang naik haji.
Namun demikian, persoalan muncul ketika gelar haji ini dapat menggugurkan pahala ibadah haji itu sendiri karena munculnya sikap riya’ (ingin dipuji) atau bahkan mendorong rasa takabur.
Gurubesar Al-Azhar Kairo, Dr. Sayyid Razak Thawil (1997) pernah menolak pemakaian gelar haji. Alasannya, karena pada zaman Rasulullah Saw, sahabat, bahkan tabi'in, gelar haji itu tidak pernah ditemukan.
Ia jelaskan, nilai ibadah seseorang tergantung keikhlasan hamba menghadap Allah dan jikaa (riya), bisa merusak ibadah, bahkan mengurangi pahala dan tidak mendapat nilai di sisi Allah.
Hal senada pernah dikemukakan Syekh Abdul Badi Ghazi, pemikir Muslim berkebangsaan Mesir, bahwa penggunaan gelar haji seringkali merusak kesucian ibadah, akibatnya ibadah haji menjadi kulit tanpa isi.
Gelar Haji Sebagai Pengingat
Gelar haji adalah budaya. Jika sisi negatifnya bisa menimbulkan riya dan takabur, sisi positifnya ada juga, misalnya memotivasi orang lain untuk naik haji, dan lebih penting lagi adalah gelar haji sebagai ”pengingat”, bahwa ia sudah naik haji dan harus menjadi ”manusia baru” yang lebih saleh atau lebih Islami.
Selain itu, gelar haji dapat membuat perilaku dan gaya hidupnya akan terkontrol dengan sendirinya. Misalkan dengan memperbaiki cara berpakaian, sehingga ketika akan bermaksiat ada penghalang.
Walaupun belum sampai pada takut dan malu pada Allah ketika melakukan setiap aktifitas, minimalnya malu dan takut diketahui oleh orang disekitarnya bila itu dianggap salah atau bermaksiat.
Kalaupun tidak, orang-orang yang belum meninggalkan maksiatnya akan menegur ketika "pak haji/ bu haji" ini melakukan hal yang sama dengan mereka, misalnya: "Masak sih, sudah haji tapi...”
Menurut Abd Rohim Ghazali, peneliti di The Amien Rais Center, gelar haji merupakan bagian dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang.
Artinya, gelar itu hanya berhak dimiliki oleh mereka yang telah menunaikan rukn (fondasi) Islam kelima.
Namun, apakah legitimasi formal itu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial? Inilah persoalan yang sulit dijawab.
Jika banyak orang yang telah menunaikan ibadah haji, namun kehidupan sehari-harinya di masyarakat secara umum tidak meningkatkan kesalehan, maka amat wajar, bahkan sudah seharusnya gelar-gelar haji itu tidak perlu disandang.
Kalau tidak, ia akan menjadikan tampilan fondasi Islam kelima itu kontraproduktif, memperburuk citra, dan mereduksi makna agungnya. Wallahu a’lam. (www.risalahislam.com).*
Bahkan, tidak sedikit orang yang sudah berhaji sengaja mencantumkan gelar haji itu di depan namanya, atau mengenalkan diri dengan nama “Haji Fulan” atau “Hajjah Fulanah”.
Ada juga yang marah jika di depan namanya tidak diberi gelari haji atau tidak dipanggil dengan nama awal gelar haji.
Karena Biaya Haji itu Mahal?
Ibadah haji, bagi masyarakat Indonesia yang jauh dari kota suci Makkah, memiliki arti sendiri. Mahalnya biaya ibadah haji menjadikan pelaksanaan ibadah haji bagi sebagian orang menyimbolkan status sosial dan ekonomi, meski banyak juga yang naik haji karena "biaya dinas" atau dibiayai oleh uang rakyat/negara –dikenal dengan sebutan “Haji Abidin” (Atas Biaya Dinas), atau dibiayai oleh orang lain (“dihajikan”).
Beruntunglah orang-orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Ibadah ini sejatinya adalah dapat dilaksanakan dengan adanya “undangan” Allah.
Jamaah haji adalah tamu-tamu Allah yang berkunjung ke “rumah-Nya” (baitullah). Tidak sedikit orang yang mampu secara fisik, mental, dan finansial yang gagal atau belum kunjung bisa naik haji akibat berbagai faktor, mulai faktor waktu, terbatasnya kuota, hingga tidak ada niat (tidak mendapatkan hidayah), dan sebagainya.
Makna Gelar Haji/Hajjah
Dengan demikian, dalam perspektif duniawi, gelar haji wajar diberikan sebagai penghormatan, salut, dan penghargaan bagi mereka yang naik haji.
Namun demikian, persoalan muncul ketika gelar haji ini dapat menggugurkan pahala ibadah haji itu sendiri karena munculnya sikap riya’ (ingin dipuji) atau bahkan mendorong rasa takabur.
Gurubesar Al-Azhar Kairo, Dr. Sayyid Razak Thawil (1997) pernah menolak pemakaian gelar haji. Alasannya, karena pada zaman Rasulullah Saw, sahabat, bahkan tabi'in, gelar haji itu tidak pernah ditemukan.
Ia jelaskan, nilai ibadah seseorang tergantung keikhlasan hamba menghadap Allah dan jikaa (riya), bisa merusak ibadah, bahkan mengurangi pahala dan tidak mendapat nilai di sisi Allah.
Hal senada pernah dikemukakan Syekh Abdul Badi Ghazi, pemikir Muslim berkebangsaan Mesir, bahwa penggunaan gelar haji seringkali merusak kesucian ibadah, akibatnya ibadah haji menjadi kulit tanpa isi.
Gelar Haji Sebagai Pengingat
Gelar haji adalah budaya. Jika sisi negatifnya bisa menimbulkan riya dan takabur, sisi positifnya ada juga, misalnya memotivasi orang lain untuk naik haji, dan lebih penting lagi adalah gelar haji sebagai ”pengingat”, bahwa ia sudah naik haji dan harus menjadi ”manusia baru” yang lebih saleh atau lebih Islami.
Selain itu, gelar haji dapat membuat perilaku dan gaya hidupnya akan terkontrol dengan sendirinya. Misalkan dengan memperbaiki cara berpakaian, sehingga ketika akan bermaksiat ada penghalang.
Walaupun belum sampai pada takut dan malu pada Allah ketika melakukan setiap aktifitas, minimalnya malu dan takut diketahui oleh orang disekitarnya bila itu dianggap salah atau bermaksiat.
Kalaupun tidak, orang-orang yang belum meninggalkan maksiatnya akan menegur ketika "pak haji/ bu haji" ini melakukan hal yang sama dengan mereka, misalnya: "Masak sih, sudah haji tapi...”
Menurut Abd Rohim Ghazali, peneliti di The Amien Rais Center, gelar haji merupakan bagian dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang.
Artinya, gelar itu hanya berhak dimiliki oleh mereka yang telah menunaikan rukn (fondasi) Islam kelima.
Namun, apakah legitimasi formal itu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial? Inilah persoalan yang sulit dijawab.
Jika banyak orang yang telah menunaikan ibadah haji, namun kehidupan sehari-harinya di masyarakat secara umum tidak meningkatkan kesalehan, maka amat wajar, bahkan sudah seharusnya gelar-gelar haji itu tidak perlu disandang.
Kalau tidak, ia akan menjadikan tampilan fondasi Islam kelima itu kontraproduktif, memperburuk citra, dan mereduksi makna agungnya. Wallahu a’lam. (www.risalahislam.com).*
Post a Comment