Makna iman dan istiqomah dan pengamalannya. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw menyatakan, apa yang harus kita lakukan dalam menjalani kehidupannya ini "sederhana" saja, yaitu beriman kepada Allah SWT, lalu istiqomah (konsisten) dalam keimanan itu.
"Qul, amantu billahi tsumma itstaqim!". Katakanlah, aku beriman kepada Allah lalu istiqomahlah!
عن سفيان بن عبد الله رضي الله عنه قال: قلت: يارسول الله! قل لي في الاسلام قولا, لا أسأل عنه أحدا غيرك؟. قال: “قل آمنت بالله ثم استقم” رواه مسلم
“Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallaahu’anhu, ia berkata: aku berkata wahai Rasulullah! Katakanlah padaku tentang Islam dengan sebuah perkataan (sehingga) aku tidak akan menanyakannya kepada seorang pun selainmu. Nabi Saw menjawab: “Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan:
قل: ربي الله, ثم استقم
“Katakanlah: Tuhanku adalah Allah, kemudian istiqamahlah”.
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزّل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التى كنتم توعدون
"Sesungguhnya orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami ialah Allah’, lalu mereka tetap lurus (istiqomah) dalam keimanannya, niscaya turun kepada mereka malaikat menyampaikan pesan kepada mereka bahwa janganlah kalian takut dan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian!"
Ayat tersebut menjelaskan pula janji Allah yang tidak mungkin dipungkiri. Mukmin yang istiqomah atau konsisten dengan keimanannya tidak perlu cemas dan sedih dalam menempuh kehidupan ini, serta bergembira karena surga menantinya di akhirat kelak.
Beriman kepada Allah SWT artinya meyakini Dia sebagai Tuhan semesta alam, juga yakin akan kebenaran keberadaan para malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah), para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir Allah SWT bagi setiap manusia. Pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai pengamalan atas keimanan tersebut.
Pengamalan keimanan kepada Allah harus diikuti dengan pembenaran atas semua firman-Nya, yang kini tertuang dalam Alquran, sekaligus mengamalkan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Minimal, seorang Mukmin harus membuktikan keimanannya dengan mengerjakan shalat lima waktu. Dalam sebuah hadis disebutkan, pembeda antara seorang Mukmin dan kafir adalah shalat. Dari shalat, jika dikerjakan dengan khusyuk, maka akan tercipta kondisi diri yang benar-benar tunduk kepada Allah SWT.
Keimanan kepada para malaikat minimal dibuktikan dengan adanya kesadaran, bahwa di kiri-kanan kita selalu ada malaikat pencatat amal Rakib dan Atid. Kedua malaikat itu selalu mengawasi perilaku kita dan mencatatnya. Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kita di akhirat kelak.
Dengan adanya kesadaran tersebut, maka perilaku kita akan terkendali. Hanya akan mengarah kepada hal-hal yang diwajibkan dan dibolehkan oleh ajaran Allah semata (syariat Islam).
Keimanan kepada kitabullah, minimal dengan melakukan pembenaran kepada Alquran, yang diikuti dengan pembacaan, penghayatan, dan pengamalan kandungan isinya.
Menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup wajib hukumnya bagi setiap mukmin. Alquran merupakan hudan (petunjuk) bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah:2) dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan ini.
Keimanan kepada para utusan Allah (Rasulullah), minimal dibuktikan dengan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad SAW dan nabi/rasul sebelumnya, diikuti dengan menjalankan apa yang disampaikan atau didakwahkannya.
Perilaku Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya, merupakan sunnah, sebagai teladan sekaligus pedoman perilaku bagi kaum Mukmin.
Keimanan kepada hari akhir adalah yakin bahwa setelah kehidupan dunia ini ada alam kehidupan yang kekal, yakni akhirat. Semua makhluk akan mati atau binasa. Manusia dibangkitkan kembali untuk menjalani "kehidupan kedua".
Di alam akhirat itulah manusia menjalani kehidupan sesungguhnya. Bahagia atau celakanya, ditentukan oleh amal perbuatannya selama di dunia ini. Di alam akhirat itulah pembalasan atas amal manusia dilakukan Allah.
"Pada hari itu manusia akan pergi berpecah-pecah untuk diperlihatkan kepada mereka akan kerja-kerja mereka. Barangsiapa yang beramal kebaikan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya. Dan barangsiapa yang beramal kejahatan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya pula." (QS Al-Zalzalah:6-8).
Keyakinan akan adanya akhirat harus dibuktikan dengan pengumpulan bekal kita untuk kehidupan di sana. Yakni, berupa amal saleh. Beribadah kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama makhluk, sebagaimana diperintahkan-Nya. Hidup di dunia ini hanya sementara.
Pergunakan sebaik-baiknya, jangan sampai terlena oleh kenikmatan duniawi yang melenakan, sehingga melupakan kita akan persiapan (amal saleh) untuk akhirat.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi…" (QS. 28:77).
"Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia" (HR. Ibnu ‘Asakir dari Anas).
Beriman kepada takdir, yakni membenarkan adanya ketentuan Allah SWT. Yaitu, ketentuan yang menentukan nasib atau keadaan kehidupan kita. Nasib atau keadaan itu mengiringi amal yang kita kerjakan.
Ibaratnya, orang rajin belajar tentu akan pandai dan lulus ujian. Orang rajin bekerja tentu akan mendapatkan kekayaan. Orang beribadah tentu mendapat pahala. Sebaliknya, jika kita lalai beribadah, banyak berbuat dosa, tentu ketentuan Allah berupa azab akan menimpa kita.
Demikian pula jika kita menjalani kehidupan ini sesuai syariat Islam, tentu kebahagiaan hidup dunia-akhirat akan mengiringi kita. Sebaliknya, jika kita mengabaikan syariat Islam, apalagi melecehkannya, maka keterpurukan akan menimpa kita karena kita menyimpang dari rel yang sudah ditetapkan.
Jika kita rajin menjaga kondisi tubuh, dengan olahraga misalnya, kesehatan jasmani kita tentu akan terpelihara. Begitu seterusnya.
Ayat tersebut menjelaskan pula janji Allah yang tidak mungkin dipungkiri. Mukmin yang istiqomah atau konsisten dengan keimanannya tidak perlu cemas dan sedih dalam menempuh kehidupan ini, serta bergembira karena surga menantinya di akhirat kelak.
Beriman kepada Allah SWT artinya meyakini Dia sebagai Tuhan semesta alam, juga yakin akan kebenaran keberadaan para malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah), para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir Allah SWT bagi setiap manusia. Pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai pengamalan atas keimanan tersebut.
Pengamalan keimanan kepada Allah harus diikuti dengan pembenaran atas semua firman-Nya, yang kini tertuang dalam Alquran, sekaligus mengamalkan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Minimal, seorang Mukmin harus membuktikan keimanannya dengan mengerjakan shalat lima waktu. Dalam sebuah hadis disebutkan, pembeda antara seorang Mukmin dan kafir adalah shalat. Dari shalat, jika dikerjakan dengan khusyuk, maka akan tercipta kondisi diri yang benar-benar tunduk kepada Allah SWT.
Keimanan kepada para malaikat minimal dibuktikan dengan adanya kesadaran, bahwa di kiri-kanan kita selalu ada malaikat pencatat amal Rakib dan Atid. Kedua malaikat itu selalu mengawasi perilaku kita dan mencatatnya. Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kita di akhirat kelak.
Dengan adanya kesadaran tersebut, maka perilaku kita akan terkendali. Hanya akan mengarah kepada hal-hal yang diwajibkan dan dibolehkan oleh ajaran Allah semata (syariat Islam).
Keimanan kepada kitabullah, minimal dengan melakukan pembenaran kepada Alquran, yang diikuti dengan pembacaan, penghayatan, dan pengamalan kandungan isinya.
Menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup wajib hukumnya bagi setiap mukmin. Alquran merupakan hudan (petunjuk) bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah:2) dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan ini.
Keimanan kepada para utusan Allah (Rasulullah), minimal dibuktikan dengan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad SAW dan nabi/rasul sebelumnya, diikuti dengan menjalankan apa yang disampaikan atau didakwahkannya.
Perilaku Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya, merupakan sunnah, sebagai teladan sekaligus pedoman perilaku bagi kaum Mukmin.
Keimanan kepada hari akhir adalah yakin bahwa setelah kehidupan dunia ini ada alam kehidupan yang kekal, yakni akhirat. Semua makhluk akan mati atau binasa. Manusia dibangkitkan kembali untuk menjalani "kehidupan kedua".
Di alam akhirat itulah manusia menjalani kehidupan sesungguhnya. Bahagia atau celakanya, ditentukan oleh amal perbuatannya selama di dunia ini. Di alam akhirat itulah pembalasan atas amal manusia dilakukan Allah.
"Pada hari itu manusia akan pergi berpecah-pecah untuk diperlihatkan kepada mereka akan kerja-kerja mereka. Barangsiapa yang beramal kebaikan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya. Dan barangsiapa yang beramal kejahatan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya pula." (QS Al-Zalzalah:6-8).
Keyakinan akan adanya akhirat harus dibuktikan dengan pengumpulan bekal kita untuk kehidupan di sana. Yakni, berupa amal saleh. Beribadah kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama makhluk, sebagaimana diperintahkan-Nya. Hidup di dunia ini hanya sementara.
Pergunakan sebaik-baiknya, jangan sampai terlena oleh kenikmatan duniawi yang melenakan, sehingga melupakan kita akan persiapan (amal saleh) untuk akhirat.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi…" (QS. 28:77).
"Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia" (HR. Ibnu ‘Asakir dari Anas).
Beriman kepada takdir, yakni membenarkan adanya ketentuan Allah SWT. Yaitu, ketentuan yang menentukan nasib atau keadaan kehidupan kita. Nasib atau keadaan itu mengiringi amal yang kita kerjakan.
Ibaratnya, orang rajin belajar tentu akan pandai dan lulus ujian. Orang rajin bekerja tentu akan mendapatkan kekayaan. Orang beribadah tentu mendapat pahala. Sebaliknya, jika kita lalai beribadah, banyak berbuat dosa, tentu ketentuan Allah berupa azab akan menimpa kita.
Demikian pula jika kita menjalani kehidupan ini sesuai syariat Islam, tentu kebahagiaan hidup dunia-akhirat akan mengiringi kita. Sebaliknya, jika kita mengabaikan syariat Islam, apalagi melecehkannya, maka keterpurukan akan menimpa kita karena kita menyimpang dari rel yang sudah ditetapkan.
Jika kita rajin menjaga kondisi tubuh, dengan olahraga misalnya, kesehatan jasmani kita tentu akan terpelihara. Begitu seterusnya.
Pengertian Istiqomah
Uraian di atas hakikatnya adalah sikap istiqomah dalam beriman kepada Allah. Istiqomah adalah tetap, kukuh, dan kuat kepada keyakinan. Tetap teguh menjalankan konsekuensi keimanan sebagaimana terurai di atas.
Mengenai tafsir “istiqamah” dalam penggalan ayat “Kemudian mereka istiqamah”, Abu Bakr Ash-Shiddiq ra berkata: “yaitu mereka tidak menyekutukan Allah (berbuat syirik) dengan sesuatu pun”.
"Mereka tidak menoleh kepada tuhan-tuhan lain selain Allah”. Juga dalam riwayat lain: “Kemudian mereka istiqamah/meneguhkan pendirian mereka bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Tuhan mereka”.
Dalam terminologi iman sendiri terkandung makna istiqomah.
Iman adalah mengucapkan dengan lisan (ikrarun bil lisan), diiringi dengan pembenaran dalam hati (tashdiqun bil qalbi), dan dibuktikan dengan tindakan nyata oleh seluruh anggota tubuh (‘amalun bil arkan).
Iman yang hanya dalam lisan saja, disebut nifak atau hipokrit.
Orang yang istiqomah dalam keimanannya, akan dapat mengalahkan setiap godaan untuk berbuat maksiat, syirik, nifak, atau mengabaikan syariat Islam. Hawa nafsu duniawi dan bujuk-rayu setan akan selalu mengintai kaum Mukmin agar mereka berpaling dari ajaran Allah yang diimaninya.
Orang yang tidak istiqomah ialah mereka yang mudah goyah keimanannya. Hawa nafsu duniawi, mengejar kesenangan duniawi, menjadi pilihannya dengan mengabaikan keimanannya.
Orang yang istiqomah dalam keimanannya, akan dapat mengalahkan setiap godaan untuk berbuat maksiat, syirik, nifak, atau mengabaikan syariat Islam. Hawa nafsu duniawi dan bujuk-rayu setan akan selalu mengintai kaum Mukmin agar mereka berpaling dari ajaran Allah yang diimaninya.
Orang yang tidak istiqomah ialah mereka yang mudah goyah keimanannya. Hawa nafsu duniawi, mengejar kesenangan duniawi, menjadi pilihannya dengan mengabaikan keimanannya.
Ini bukan berarti mengejar kesenangan duniawi dilarang, tetapi seyogianya orang beriman yang teguh dengan keimanannya akan mengejar kesenangan duniawi itu dengan tetap berpedoman kepada aturan Allah, berstandar halal-haram, manfaat-madarat, dan lain-lain.
Semoga kita termasuk orang yang mampu beristiqomah dalam keimanan kita. Amin! Wallahu A’lam.*
Semoga kita termasuk orang yang mampu beristiqomah dalam keimanan kita. Amin! Wallahu A’lam.*
Post a Comment